Rabu, 27 April 2011
Browse > Home /
Press Release
/ Ironi di Ende
Ironi di Ende
Kabupaten Ende di lingkup Provinsi Nusa Tenggara Timur mempunyai sejumlah julukan, antara lain sebagai kota bersejarah, juga kota pendidikan. Namun, rupanya ikon itu tinggal kenangan indah masa silam saja.Tahun ini, Ende berada di urutan paling akhir dalam tingkat kelulusan ujian nasional (UN) SMA/MA dari 21 kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur (NTT). Dari total peserta 2.468 siswa, yang yang tidak lulus mencapai 669 peserta (27,11 persen).Fenomena di Ende ini sama pada tahun 2007 dengan persentase kelulusan sekitar 50 persen. Bahkan, tahun 2005, persentase kelulusan lebih terpuruk, hanya sekitar 39 persen. Hal ini tentu saja merupakan persoalan serius, sekaligus suatu keprihatinan mendalam.Prestasi tertinggi UN SMA tahun ini di NTT adalah Kabupaten Sumba Tengah dengan kelulusan 100 persen, urutan kedua Kabupaten Sabu Raijua (kabupaten pemekaran baru) dengan kelulusan 99,61 persen.Melihat kasus yang terjadi di Ende, terkesan pendidikan dianggap bukan hal penting sehingga penurunan tingkat kelulusan yang mulai terlihat tahun 2005, lalu tahun 2007, dan naik turun hingga tahun 2010 kurang mendapat penanganan serius. Padahal, Ende merupakan kota bersejarah sebab di kota inilah Soekarno mengalami masa pembuangan politik pada 14 Januari 1934-18 Oktober 1938.Soekarno selama di Ende juga melakukan pendidikan politik lewat pementasan tonil yang mengobarkan semangat perjuangan kemerdekaan. Dari Ende pula Soekarno menemukan bentuk Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.Pertanyaannya, di mana rasa kebanggaan dan semangat perjuangan sebagaimana diteladani Bung Karno itu? Tingkat kelulusan di Ende sangat memilukan. Pemerhati pendidikan Flores dari Keuskupan Larantuka, Romo Eduard Jebarus Pr, yang juga menulis buku berjudul Sejarah Persekolahan di Flores (2008), sangat menyayangkan kemerosotan mutu pendidikan di Ende.Kendati sekolah pertama kali di Flores dibuka di Larantuka tahun 1860-1914 pada masa Misi Yesuit, tetapi setelah Serikat Sabda Allah (SVD) mengambil alih, pengembangan pendidikan Flores menjadi maju pesat dengan pusatnya di Ende.”Di daratan Flores, sekolah yang lengkap di Ende, dari pendidikan dasar sampai pendidikan guru. Pada masa Belanda, SMP pertama kali di Flores dibuka di Ende, begitu pula di era kemerdekaan. Saat ini juga banyak berdiri perguruan tinggi di Ende. Salah satunya Universitas Flores yang dipandang sebagai perguruan tinggi terbaik di daratan Flores,” papar Eduard.Sebagai contoh, di Flores didirikan Schakelschool (sekolah lanjutan dari sekolah desa/sekolah rakyat) di Ndao Ende. Schakelschool kemudian ditutup pada tahun 1948, diganti dengan SMP Ndao yang mulai berjalan 1 Agustus 1948.
Pendidikan tinggi
Di antara lulusan Ndao ada yang dikirim untuk mengikuti perguruan tinggi, misalnya tokoh tiga zaman, Frans Seda. Frans Seda melanjutkan sekolah di Muntilan, lalu belajar Ilmu Ekonomi di Sekolah Tinggi Ekonomi Katolik di Tilburg, Belanda. ”Ini suatu kemunduran luar biasa sebab Ende yang dikenal sebagai kota pendidikan semestinya menjadi barometer di NTT. Kejadian ini juga merupakan pukulan keras bagi kami dari kalangan perguruan tinggi yang menghasilkan guru. Kami turut menderita,” kata Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Flores Ende Pius Pampe.Menurut Pius, salah satu faktor penyebab keterpurukan adalah kecerdasan profesional guru. Pasalnya, kurikulum yang diberlakukan secara nasional adalah sama untuk 33 provinsi. Semua guru dituntut dapat mentransfer materi kurikulum ke semua siswa. Guru yang tidak menguasai materi cenderung melewati bahasan tersebut, yang akhirnya berdampak pada siswa yang tidak dapat mengerjakan soal UN karena materi belum pernah diajarkan sang guru.Oleh karena itu, ketika pihak Pemerintah Kabupaten Ende hendak merekrut guru, jangan hanya melihat aspek persyaratan administrasi (tamatan sarjana), tetapi juga perlu dilakukan uji kompetensi.Pius juga lebih menyoroti soal keberadaan pengawas sekolah di jajaran Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO) Ende, yang sebenarnya merupakan kunci penting keberhasilan pendidikan. Kompetensi pengawas dituntut lebih dari guru sehingga ketika seorang guru kesulitan dalam mengajar, pengawas dapat turun tangan memberikan bimbingan.”Namun, yang terjadi di lapangan, pengawas seperti formalitas saja,” kata Pius.Kepala SMA Katolik Syuradikara Ende Pater Kanisius Bhila SVD berpendapat, dinas PPO setempat amat kurang memberikan program pendidikan dan pelatihan bagi guru.”Pihak dinas bisa memfasilitasi dengan memberikan pelatihan metode pengajaran yang baik dengan mendatangkan ahli pendidikan dari perguruan tinggi ternama nasional,” kata Pater Kanisius.Menurut dia, meski kegiatan tersebut membutuhkan dana besar, tetapi investasi itu akan menghasilkan prestasi pendidikan yang besar pula dalam beberapa tahun ke depan.Sementara itu, Kepala Bidang SMA Dinas PPO Kabupaten Ende W Wempi menjelaskan, dari segi kuantitas, jumlah pengawas SMA/MA sudah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2009, bahwa seorang pengawas melakukan pembinaan di 10-15 sekolah. Adapun dari jumlah SMP/SMA/SMK di Ende sebanyak 106 sekolah, pengawas yang ada berjumlah 9 orang, sehingga tiap pengawas rata-rata membina 12 sekolah.”Namun, ditinjau dari aspek tingkat pendidikan, pengawas di Ende itu semuanya tamatan S-1. Sementara dalam regulasi bagi pengawas SMP-SMA minimal harus S-2,” kata Wempi.Wempi juga mengemukakan, dengan keterbatasan APBD, kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang idealnya digelar tiap bulan, pihak dinas hanya dapat memfasilitasi setahun sekali, sesuai dengan anggaran yang disetujui DPRD setempat sebesar Rp 15 juta. Kegiatan penting lainnya, seperti Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), hanya dialokasikan dalam APBD Rp 35 juta untuk digelar 4 kali dalam setahun.
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2010/08/05/03001456/ironi.di.ende
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments
0 comments to "Ironi di Ende"
Posting Komentar